Menutup lalu Menetap
Tahun ini, usia 24. Banyak kawan udah pada nikah. Kadang jengkel kalo ditanya kapan nyusul. Jengkel ke mereka-mereka yg nanya sekaligus ke diri sendiri. Mereka-mereka itu mana pernah ngerasain ga bisa move on. Mana mungkin mereka dengan goblok lewat depan rumah perempuan cinta pertamanya sambil berharap bisa ngeliat doi lagi walau sekilas?. Termakan novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, aku diam-diam tak menginginkan cinta sejati. Tapi juga bukan cinta yang sesaat. Aku terjatuh di kenangan masa lalu cinta pertama tanpa berkeinginan melepas sakit. Kurasa, luka itu memang sembuh perlahan. Sialnya ia tak pernah benar-benar kering. Sesekali ada saja yg membuatnya kembali basah. Gobloknya, aku justru berlatih menikmati rasa pedih.
Bayangkan kalian sedang kangen seseorang yg kini tak terdengar kabarnya. Buncahan kerinduan meluap bersama rembesan air mata yg merambat malu-malu. Sementara langit-langit kamar menayangkan ingatan-ingatan tentangnya, seseorang yg berdiam di kepalamu merasa iba lalu memutar Hampa milik Ari Lasso. Yang bisa kau lakukan hanya bersemoga, tuhan, ijinkan hangat dekapnya masuk mimpi hamba!
Aku sadar betul, usia 24 baik digunakan untuk berbalas cinta yang diprogram menjadi sebuah rumah tangga. Bukan 100% salah mereka bila menohok batin ini dg kapan nyusul. Sayangnya aku belum begitu berani mengaku yg sesungguhnya sedang kujalani. Sebenarnya ingin sekali menampar mereka dengan "nikah kui hukum e mung sunah tapi ngaji kui wajib". Tapi kok kedengerannya sok alim banget. Padahal aku masih males-malesan ngaji. Jika harus kukatakan di sini, maka ringkasnya "aku akan nikah selepas keinginan guruku terwujud". Sepertinya terdengar lebih santun.
Blio ingin membangun yayasan sosial-pendidikan.
Itulah kenapa, sampai saat ini aku tak ingin buka hati dulu. Biar kutetapkan niat dan prioritas untuk azam guruku. Apa salahnya?
Camkan ini! pemuda kok ngga ideologis? Huh..cemen!
Komentar
Posting Komentar