Perempuan Sembrani

                              Ilustrasi Kuda Sembrani (Sumber: Goodnewsfromindonesia.id)

Beberapa tahun lalu, pemberitaan konflik warga Banjarsari melawan Perusahaan Tambang di televisi menyita perhatian khalayak luas. Banyak pihak yang berusaha turun tangan. Tapi hanya segelintir yang memerhatikan riwayat kuda putih penjaga bukit merah yang ditambang dan hanya seorang saja yang menyadari kehadiran Perempuan Sembrani.

Aku adalah Bukit Merah

Sama seperti daging manusia, warna merah tubuhku juga karena darah. Berpuluh-puluh tahun lalu tumpahan darah gerilyawan Perang Jawa mengubah putihnya kapur di sini. Wajah alam berubah muram. Cengkih lebih memilih mati ketimbang menyesap darah yang menyatu dengan air tanah. Sedangkan hasil bumi dari sawah hanya cukup untuk warga bertahan hidup. Hanya kesetiaanlah yang membuat pribumi Banjarsari bertahan dirantai keterbatasan.

Gelap belum matang ketika desing bedhil meletup-letup di keheningan malam Banjarsari. Semua warga dianiyaya serdadu Belanda. Di kejauhan, tak ada satupun bangunan yang luput dari kobaran api. Banjarsari menyala. Tak berselang lama, hantaman meriam menghujani tubuhku. Gerilyawan yang bersembunyi di sini berhamburan tungangg-langgang. Kocar-kacir. Setiap pejuang berupaya menyelematkan diri walaupun hanya segelintir saja yang tak berakhir sia-sia. Aku yakin, serangan ini adalah pembalasan dendam atas kematian Van de Cohlir.

Hingga kini aku masih ingat peristiwa itu. Gerombolan serdadu Belanda yang kesetanan memburu para gerilyawan dihadang seekor kuda putih nan perkasa agar Sang Tuan bisa melarikan diri. Butuh satu pleton pasukan untuk menaklukan keberingasan kuda itu. Pada akhir hanyatnya, ia terkapar dengan beratus lubang peluru menembus badan. Berpuluh-puluh tahun kemudian setelah Perang Jawa usai, warga di sini lebih mengingat Sang Kuda dibandingkan tuannya.

Aku adalah Kuda Putih

Mulanya aku adalah kuda putih milik Kyai Gothak yang diberi nama Sembrani. Tapi sejak tuanku menduduki Banjarsari, aku dihadiahkan kepada murid kinasihnya yang berhasil merenggut nyawa salah seorang jenderal Belanda. Ksatria itu adalah Raden Mas Bagus Singlon salah satu putra Pangeran Diponegoro. Kyai Gothak membekaliku lembu sekilan1 yang memungkinkanku tidak terkena serangan musuh walau pada pertempuran terakhir, aku tak berdaya digempur bedhil-bedhil serdadu Belanda.

Aku tetap menjaga bukit Banjarsari. Walau ragaku telah tiada, dengan segenap sukma yang kupunya aku masih setia menjaga wasiat terakhir Sang Raden sebelum kami berpisah.

“Jagalah bukit ini dan warga Banjarsari sebagaimana keduanya mengasihani kita selama Perang Jawa!” pesan Sang Raden padaku sebelum aku meluncur menuju kematian.

Berpuluh-puluh tahun kemudian setelah Perang Jawa usai,  sebagaimana aku, barangkali hanya kesetiaanlah yang membuat warga Banjarsari kukuh bertahan. Alam menjadi murung setelah tragedi pembumihangusan itu. Bukit yang semula putih berganti warna merah. Lubang akibat hujaman meriam di bukit ini terus membesar dari waktu ke waktu hingga akhirnya berubah menjadi goa-goa. Saat kemarau tiba, sawah akan perlahan-lahan mengering dan para lelaki Banjarsari satu-persatu akan mencari penghidupan di luar daerah.

Hal yang tak wajar berlangsung sekira tiga tahun yang lalu. Waktu itu sedang kemarau, tapi ada sekelompok orang mendatangi bukit ini. Aku mendengar kekaguman yang keluar dari mulut seorang lelaki buncit dengan penutup kepala kuning-yang nyaris seperti milik serdadu Belanda dulu- ketika ia mengamati bongkahan batu bukit dengan cermat.

“Jika bukit ini tidak ada, marmer merah semacam ini hanya akan kalian temui di Italia sana” ucap lelaki itu pada kerumuan orang di belakangnya sembari terus menggeleng-gelengkan kepala.

Tak berselang lama orang-orang yang wajahnya belum kukenali datang kemari. Mereka mengendarai besi-besi pencaplok tanah. Alat itu bisa mengeruk sisi selatan bukit dengan sangat cepat. Ada juga seperangkat besi penggali yang menciptakan lubang baru di sana-sini. Sejak saat itu aku menjadi khawatir perihal kelangsungan bukit ini. Terlebih ketika aku menyadari bahwa ternyata banyak juga warga Banjarsari yang memakan bukit milik mereka sendiri. Mereka bukan para petani, melainkan para perantau yang pulang dari Bantul atau Yogyakarta.

Kegelisahanku semakin menguat. Sukmaku merasakan sakin tak terperi. Setiap malam aku menangis sebab takut menghianati sumpahku pada Raden Mas Bagus Singlon karena gagal menjaga bukit dan warga Banjarsari. Aku berupaya meminta tolong pada segenap keturunan Sang Raden. Namun darah biru mereka sangat sulit kukenali sebab selepas dipukul mundur Belanda dari Banjarsari, Sang Raden dan para pengikutnya menyebar ke pelosok desa dan sesinglon2 menjadi rakyat jelata. Hingga pada suatu malam Jumat Kliwon, sukmaku dibimbing oleh sinar putih yang sangat bercahaya memasuki alam mimpi seorang perempuan yang tak lain adalah keturunan tuanku yang ke tujuh.

Akulah Si Helm Kuning

“Tenang saja, kau akan selamat. Masalah seperti ini sudah sering kutangani. Orang kampung seperti mereka itu cuma minta diberi uang. Hanya saja mereka belum tahu cara memintanya. Serahkan saja padaku” dengan sangat enteng pria itu merendahkanku. Bahkan ia tak beralih dari kursi dinasnya.

“Dasar pria tengik!” umpatku dalam batin.

“Bereskan mereka dari tambangku secepatnya! Terutama para ibu-ibu. Anak buahku sudah angkat tangan.” Aku menuntutnya. “Urusan hitungan, nanti di belakang. Asal bereskan dulu!” tambahku sebelum keluar dari ruangannya.

Aku, Asti

Bila kalian berwisata ke D.I Yogyakarta, sempatkanlah berkunjung kemari. Aksesnya pun cukup mudah. Jika berangkat dari Tugu Jogja tinggal lurus ke barat mengambil arah Godean. Di perempatan Pasar Godean, kalian akan menemukan petunjuk arah menuju Puncak Sembrani, Desa Wisata Banjarsari. Sementara waktu, wisatawan cukup memberikan donasi seikhlasnya dan membayar parkir kendaraan untuk menikmati keasrian alam dan kemegahan goa-goa di sini. Tapi mungkin dua atau tiga tahun lagi akan ada biaya retribusi mengingat pemerintah kabupaten dan warga setempat telah berusaha mengelolanya.

“Akhirnya doa-doa kita dikabulkan ya, As” sapaan Bu Minah menyadarkan lamunanku. Aku berbalik mendekatinya.

“Ketika perempuan melakukan perubahan, segenap pranata kehidupan akan ikut serta berdiri di belakangnya, Bu” timpalku menggunakan kalimat yang pernah Bu Minah utarakan sebelum aku menghadapi persidangan. Ia menyungging senyum lalu memelukku. Pelukan itu sangat dalam sampai-sampai bisa menghapus duka lara di ulu batinku selama berjuang dengan ibu-ibu Banjarsari menghadapi orang-orang tambang.

Bila kemari dua tahun lulu, kalian akan menyaksikan alat-alat tambang yang mangkrak berserak di bawah tebing Bukit Sembrani yang tinggal setengah. Aku dan beberapa rekan kerja dari Dinas Lingkungan mengunjungi tempat ini setelah mencuat konflik warga melawan perusahaan tambang yang disiarkan media nasional. Sebelum berangkat, salah seorang rekanku tak sengaja menjumpai beberapa orang dari pihak perusahaan diam-diam mendatangi kantor kepala dinas. Kalian tentu paham dengan maksud di baliknya.

Memang kehadiran tambang membuat warga di sini tak perlu merantau ke luar daerah untuk bekerja. Namun konflik sosial tetap saja bergejolak. Alhasil, izin tambang sementara dicabut dan dibentuk tim ahli untuk menilai dampak lingkungan. Aku termasuk salah satu anggota tim itu. Kami berenam tinggal di rumah warga selama hampir setengah bulan. Para lelaki tinggal di rumah Pak RT, sedangkan yang perempuan menempati rumah Bu Minah. Ia induk semang yang ramah seperti kebanyakan orang desa pada umumnya. Setiap kali ada waktu senggang, kami selalu bercengkerama. Dari Bu Minah pula aku mengerti akar masalah.

“Kata suamiku, dulu perusahaan tambang berjanji akan menjadikan warga sini karyawan. Tapi apa? baru dua bulan kerja sudah diputus kontraknya” ungkap Bu Sinem, istri Pak RT.

“Kasihan, As” sahut Bu Minah sambil menepuk lenganku. “Baru sebentar bisa hidup tenang di rumah dengan anak-istri terpaksa harus merantau lagi. SPP sekolah anaknya jadi menunggak-nunggak lagi. Sarapannya jadi nasi empok lagi” 

Aku hanya mangut-mangut menyimak cerita keduanya.

“Dulu kalau musim hujan airnya jadi berkah karena sawah akan menghijau. Tapi sekarang? justru gagal panen. Baru kali ini As, Banjarsari banjir. Apalagi kalau bukan gara-gara tambang itu” ujar Bu Sinem menumpahkan kekesalannya.

“Sekarang jalan menuju tambang sudah dipalang warga ya Bu?” aku berusaha masuk obrolan.

“Iya As. Itu pun hanya satu dua orang yang berani melakukannya” jawab Bu Sinem. “Kadangkala orang-orang yang melawan tambang seperti itu hidupnya jadi tak tenang. Ada yang diteror bangkai kambing digantung di teras, ada yang diincar preman” tambah Bu Sinem.

Kalian boleh tak percaya dengan cerita-cerita tadi. Tapi bukti-bukti nyata perlawanan warga Banjarsari masih tersimpan rapi di tembok-tembok rumah mereka. Ada banyak coretan dinding yang menegaskan tanda perlawan. Kalian akan menjumpai kalimat-kalimat seperti “lawan segala bentuk perusakan di bumi Barjarsari!” atau “rakyat bersatu melawan tambang!” atau “usir antek-antek tambang!”. Tapi diantara banyak jargon, ada satu yang paling merasuk di benakku.

Saat pertama kali membacanya, terngiang di telingaku rintihan kuda yang terdengar seperti tangis seorang lelaki putus asa. Rintihan itu hadir di mimpiku. Sebagaimana lazimnya mimpi, segalanya terasa sangat absurd. Tiba-tiba aku berada di dalam gua yang berdinding merah. Di sana terkulai lemas kuda putih dengan air mata bercucur dan hanya kuasa menggelepakkan kepalanya sesekali. Lalu kuda itu meringik sangat keras sampai bisa membangunkanku. Aku sama sekali tak memahami teka-teki mimpi itu. Akibatnya, hariku-hariku menjadi penuh kegelisahan. Saat aku melamun, rintihan kuda itu tiba-tiba bergelombang di telinga dan menyadarkanku. Kadangkala, menjelang tidur aku melihat sosok yang sama sedang terkapar di langit-langit kamar. Kegundahan itupun tertebus setelah salah satu kakak tingkatku yang bekerja di Dinas Lingkungan membutuhkan jasa seorang ahli ilmu lingkungan untuk menangani konflik warga vs perusahaan tambang.  Begitu kami tiba hal pertama yang menarik perhatianku adalah spanduk besar bertuliskan “Sembrani milik Banjarsari, bukan tambang!”. Spanduk itu di pasang di samping gua yang berdinding merah. Seperti yang kutemui dalam mimpi.

Selama setengah bulan berada di sini, kami menemukan sesuatu yang tak pernah disangka siapun. Bukit Sembrani tidak hanya menyimpan batuan marmer merah yang langka. Lebih dari itu, bentukan gua-gua kecil yang tersebar di bukit ini ternyata menyimpan bijih emas. Temuan lain juga berupa pelana kuda dari baja dan beberapa jenis senjata seperti wadung, tombak, dan pedang. Berkat konsultasi dengan rekanku yang mengajar sejarah di UGM, disimpulkan bahwa bukit ini adalah salah satu jejak perjuangan para gerilyawan Perang Jawa.

Berbekal temuan-temuan itu, aku bertekad bulat mendampingi warga Banjarsari dalam marathon persidangan melawan kubu tambang. Dengan segala kekayaannya, Bukit Sembrani harus diselamatkan. Akhirya, pemerintah kabupaten bersedia mengganti  segala kerugian yang dirasakan warga dengan cara menghentikan aktivitas pertambangan di Bukit Sembrani dan merubahnya menjadi objek wisata.

Aku, Minah

Seusai salat isya, orang-orang saling membicarakan suara congklang kuda yang mereka dengar ketika sedang sujud terakhir. Akupun mendengarnya. Bagi kami warga Banjarsari, kuda menjadi hewan keramat. Tak lain karena legenda Kuda Kyai Sembrai milik Seorang Panglima Perang Jawa yang kami percayai menjaga bukit kapur di ujung desa. Bukan sesuatu yang aneh jika diam-diam kami mengaitkan congklang kuda yang kami dengar dengan kesengsaraan yang kami alami selama beberapa tahun terakhir. Tak ayal, di sepanjang jalan menuju rumah masing-masing warga terus membicarakannya.

“Itu adalah pertanda bahwa Kyai Sembrani turun gunung membantu kita” kata Yu Sinem tetangga depan rumahku.

“Untung kalau begitu, Yu. Jadi sekarang tak perlu takut lagi melawan tambang” sahutku.

“Iya kalau membantu, kalau justru ia mencari tempat persemayaman yang baru bagaimana?” Timpal Kang Toyib, suami Yu Sinem yang mencoba menggoda istrinya.

“Itu kalau sampeyan Mas. Bosan dengan yang lama cari yang baru” balas Yu Sinem dengan ketus dibarengi sebuah cubitan manja di lengan suaminya.

Mandek sik3” pinta suamiku tiba-tiba. Tangannya menunjuk ke arah rumah. Betapa terkejutnya kami berempat saat menyaksikan seekor kuda putih bersayap sedang berjalan berputar-putar di halaman. Kuda itu lantas bergerak mendekati rumah dan menembus dinding. Sontak kami berempat mempercepat langkah didorong rasa penasaran. Begitu suamiku membuka pintu, seekor kupu-kupu gajah terbang keluar diatas kami. Yu Sinem berusaha meraih tapi tangan Sang Suami mencegahnya.

“Yu Minah akan kedatangan tamu besar” ucap Kang Toyib.

Sekira dua hari setelah kejadian itu, orang-orang yang mengaku dari Dinas Lingkungan mencari tempat tinggal sementara agar bisa melakukan pengecekan masalah tambang. Sebagai seorang RT, Kang Toyib menerima mereka dengan ramah. Ia menampung petugas lelaki, sedangkan yang perempuan akan tinggal bersamaku.

Awalnya aku mengira bahwa kupu-kupu gajah yang bertamu malam itu salah rumah. Seharusnya ia masuk rumah Yu Sinem. Toh sekarang yang kedatangan tamu adalah dirinya, bukan aku. Barulah setahun setelahnya aku tersadar bahwa tamu agung itu benar-benar datang ke rumahku.

Dari tiga orang perempuan yang tinggal di rumahku, hanya Asti yang kupercaya sebab dia bukan dari orang dinas. Aku sudah tidak percaya dengan pegawai berseragam setelah dianiaya polisi tak beradab saat unjukrasa dulu. Selain itu hanya Asti yang bersedia ikut menggosip denganku dan Yu Sinem di dapur. Dua orang lainnya lebih sering mengahabiskan waktu luang di rumah Pak RT dengan rekan mereka. Asti menjadi tempat penampungan keluh kesahku dan Yu Sinem tentang usaha melawan tambang.

“Jika suatu saat masalah ini berlanjut ke peradilan, aku ikut ya Bu” pinta Asti pada kami.

“Mbak As, kalau masih sibuk mengajar di kampus ya jangan repot-repot begitu. Kalau ada waktu luang, nanti silakan balik lagi ke sini” jawab Yu Sinem. 

Di kedalaman batinku, aku sangat bahagia. Permintaan Asti menguatkan keyakinanku pada mitos seseorang yang memiliki andeng-andeng4 di chakra ajnanya5 adalah orang yang tulus. Pada akhirnya ia tak meninggalkan kami. Selepas timnya kembali, ia masih sering berkunjung dalam acara doa bersama agar tambang segera pergi yang kami gelar setiap malam jumat. Ia juga yang mewakili kami melawan pihak tambang di persidangan yang melelahkan. Beruntung, ia akhirnya pulang membawa kemenangan. Bagaimanapun setiap warga akan selalu mengingat jasa Asti untuk Banjarsari.

Sejak kepergian tambang, aku, Yu Sinem, dan segenap warga yang terlibat dalam usaha melawan tambang mendapat amanah dari pemerintah kabupaten untuk menata Bukit Sembrani menjadi tujuan wisata. Sesuai dengan arahan yang diberikan, kami lantas membentuk kelompok sadar wisata. Warga bergotong-royong membersihkan sisa-sisa pertambangan. Untuk menarik wisatawan, seorang pemahat berbakat didatangkan dari Yogyakarta demi mengukir sosok Kyai Sembrani dalam wujud kuda bersayap seukuran truk tambang di tebing bekas tambang.

Perlahan tapi pasti banyak wisatawan yang berkunjung. Asti juga sering mengajak rekannya kemari, seperti sore ini. Ketika temannya asik berfoto dengan latar belakang tebing, ia justru menaiki tangga menuju puncak bukit. Aku menyusulnya, berniat menemani agar ia tak sendiri menikmati nuansa senja. Begitu sampai di puncak, aku terkejut setengah mati saat menyaksikan bayangan Asti yang jatuh di tanah menyerupai wujud Kyai Sembrani.

Albar, Oktober 2021


 Catatan:

1) Lembu Sekilan adalah ilmu kanuragan yang menjadikan serangan musuh berjarak sekilan dari badan

2) Sesinglon = Menyamar

3) Mandhek Sik = Berhenti dulu

4) Andeng-andeng = Tahi lalat

5) Chakra Ajna adalah pengitilahan mata ketiga yang terletak di tengah dahi di atas alis mata


Cerita pendek ini meraih Juara 1 dalam Lomba Cerpen Mahasiswa se Asean 2021 yang digelar oleh Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang



 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Esai LPDP Magister Geografi Lolos Seleksi Batch 1 Tahun 2024

Empat Catatan tentang Ra