Oalah..Ternyata Seperti Ini Rasanya Jadi Pengajar
Seorang kawan dekat saya
mengatakan kalimat itu saat dua murid yang ia ajar gagal merenggut juara pada
gelaran kompetisi suatu mata pelajaran SMA yang dihelat oleh sebuah universitas
negeri di Kota Malang. Walau pada kalimat itu mengandung kekecewaan atas
capaian muridnya, kawan dekat saya ini berupaya menceritakan kelebihan-kelebihan
anak didiknya di hadapan saya. Saya pikir, begitulah resep seorang lelaki
mengobati harapan yang terobek. Saya juga pernah melakukan upaya semacam itu.
Sehingga saya dapat katakan bahwa yang demikian itu tak lebih dari sekadar
usaha membunuh kecewa. Bukankah menghibur diri sendiri adalah jalan
ninja cara terlemah seorang lelaki untuk menenangkan hati? Tahu kalian
mengapa? Karena mereka sungkan untuk menangis! Ingat
ini lekat lekat, dik!
Baiklah, tidak baik bila kita kelewat mengecilkan kebesaran para
lelaki. Kembali lagi ke cerita kawan saya.
Kelebihan yang disebut kawan dekat saya kurang lebih seperti ini:
Tim anak didiknya sudah berhasil menembus tahap grand
final. Untuk mencapai tahap ini mereka sudah menggugurkan sekian ratus
tim dari banyak daerah mengingat cakupan kompetisi ini berskala nasional. Dua
pekan sehabis tahap penyisihan, mereka berjibaku mengerjakan soal berbasis
praktikum pada tahap semifinal. Dari 40 tim yang lolos ke semifinal, mereka
akan dikerucutkan menjadi 10 tim saja.
Dramatisnya, murid bimbingan kawan saya ini tercatat menduduki
peringkat 10 dengan hanya berselisih 0,15 point dari peringkat dibawahnya. Itu
pun berkat kejeliannya dan bakat mencari kesalahan orang lain begitu
mengamati daftar peserta lolos final yang dirilis panitia 7 jam usai ujian
tahap semifinal berakhir. Awalnya, panitia menempatkan murid kawan saya pada
peringkat 11 dengan torehan point 206.3. Sedangkan peringkat 10 diduduki oleh
peserta lain dengan torehan point 206.15. Saya rasa segenap panitia
penyelenggara didominasi orang humoris. Menggelikan! Usai kawan saya
ini komplain, akhirnya panitia kompetisi mengakui kealpaan mereka dan merevisi
publikasi.
Saya sempat diberitunjuk wujud soal tahap semifinal ini oleh kawan
dekat saya. Saat itu juga, di depan mukanya, saya berterusterang akan kesulitan
setengah mati jika mengerjakan soal-soal itu. Sekonyong-konyong ia katakan
bahwa soal-soal itu memang bukan diperuntukkan mahasiswa
dengan catatan TA kriminal sebanyak saya. Karena
merasa sedikit tersinggung dengan ejekannya itu, saya tidak akan menceritakkan
hal tabu semacam itu kepada pembacaku sekalian yang budiman nan lucu.
Ketika murid kawan saya masuk tahap final, mereka dituntut panitia
untuk mempresentasikan sebuah power point yang sebelumnya
sudah mereka susun. Kebetulan murid kawan saya ini mengambil subtema
pembangunan berbasis lingkungan. Menurut saya pribadi, topik tersebut memang
sedang membumi belakangan ini. Suatu saat saya akan bercerita tentang
ini, jika ingat. Barangkali karena pilihan topik yang pas dan berbanding lurus
dengan kecakapan menjelaskan, akhirnya murid kawan saya ini berhasil menembus
tahap grand final.
Di tahap ini murid kawan saya beradu dengan enam tim lain dalam
mengerjakan soal berbasis pemecahan masalah. Ia tak menjelaskan lebih rinci
tentang persoalan seperti apa yang dibebankan kepada muridnya. Saya menyadari,
untuk menumbuhkan keterampilan itu dibenak murid sungguh teramat sulit. Kalau
perkara seperti ini saya sedikit paham. Sedikit banget sih sebenarnya. Untuk
mencapai fase analisa, seseorang memerlukan pemahaman konsep dasar teoritik
lebih dulu. Ini adalah syarat wajib sekaligus rukun. Trik paling mudah untuk
menangkap makna sebuah konsep memang dari aspek kebahasaannya. Sayangnya, ini
saja tidak cukup. Strategi yang mau tidak mau diambil adalah
menghafalnya. Saya sendiri tergolong tipe yang pertama.
Selanjutnya, harus ada langkah identifikasi perihal masalah yang
dikaji. Ini juga termasuk syarat wajib sekaligus rukun. Setahu saya,
identifikasi itu memang mudah dikerjakan. Yang repot adalah ketika objek yang
diidentifikasi ada banyak. Perlu ketelitian ekstra untuk
menyelesaikannya. Jika dua syarat wajib sekaligus rukun tadi
terpenuhi, barulah tahapan analisa masalah bisa dikerjakan. Ini baru analisa
masalah, belum menyentuh pencarian solusi. Tahapannya lumayan sedikit naik
lagi.
Pencarian solusi menurut saya pribadi mampu menjawab 8 pertayaan.
Jika diurai, 8 pertanyaan ini berisi 7w+1h. What, Who, When, Where,
Why, What if, What next dan How. Selama ini mungkin kita
belum melibatkan kontribusi What if dan What next dalam
penyeselaian masalah. Padahal dua entitas itu berpotensi mengembangkan
pemikiran kita menuju kemenyeluruhan yang lebih kompleks.
Keluar dari beberapa rumusan pertanyaan tentang kapan
lulus, kerja apa, gaji berapa, kapan menikah, punya anak berapa tadi
kawan saya sendiri tak menduga jika muridnya mampu melaju sejauh itu. Karena
itu pula ia sanggup mengatakan kalimat yang saya kenakan sebagai judul tadi
sekaligus mempertanggungjawabkannya kok panjang banget ya, padahal cuma
satu kata. Sayapun menjamin kalau saja ia terdaftar sebagai
peserta, mustahil aqli mutlaqan akan melaju seprestisius
itu. Dapuranmu! Lolos penyisihan saja sudah untung!.
Sayangnya, saya harus mohon maaf. Rasa menjadi pengajar yang
diceritakan kawan dekat saya kepada saya tidak dapat saya ceritakan ulang
kepada pembaca. Kawan dekat saya khawatir pengalaman yang ia ceritakan kepada
saya itu berpotensi menyudutkan pihak lain jika saya cantumkan di tulisan ini.
Padahal saya sudah coba menyakinkan dengan Surya 12 satu pack babibu
bla bla bla ini-itu. Tapi apa mau dikata, kawan dekat saya terlanjur teguh pada
prinsip yang ia pegang.
Walau demikian, saat sedang menulis ini saya baru sadar.
Barangkali seperti itulah kebanggaan teragung bagi seorang pengajar,
yakni tatkala seseorang yang diajar melebihi capaian dirinya sendiri. Seperti
yang menimpa kawan dekat saya.
Tentu saya garisbawahi bahwa sebuah pencapaian jangan melulu
ditimbang dari aspek akademik saja. Jika tidak, ini dapat berakibat fatal.
Komentar
Posting Komentar