Menyiapkan Bekal dari Lapar

Judul: Lapar

Penulis: Knut Hamsun

Penerjemah: Marianne Katoppo

Tebal: 284 hlm

Penerbit: Yayasan Obor Pustaka


Perihal buku ini, ada sedikit kisah yang ingin kubagi. 

Dalam sebuah sesi ngobrol santai di Kanal Youtube Mojok.co, Eka Kurniawan nyeletuk bahwa karier menulisnya tak bisa lepas dari Lapar-nya Knut Hamsun. Sejak saat itu, timbul penasaran dibenakku. Lapar menjadi salah satu buku yang ingin kubaca. Tak berselang lama, aku menemukan beberapa eksemplar buku itu di rak novel Togamas bagian paling bawah-pertanda bukan produk unggulan. Bagaimanapun, desain sampul sebuah buku turut menjadi pertimbanganku untuk membelinya. Begitulah kiranya untuk waktu itu tak kuambil Lapar ini. Sampulnya tak begitu menarik. 


Diam-diam Lapar menguap dari daftar bacaan yang ingin kusantap. Kala itu, Dawuk-nya Mahfud Ikhwan sungguh candu bagiku. Ketika rilis serial lanjutannya, spontan kuprioritaskan isi dompet yang tak seberapa ini untuk itu: Anwar Tohari Mencari Mati. Waktu bersaksi bahwa kegandrunganku pada tulisan Mahfud makin bertambah. Alhasil kuputuskan mengoleksi Ulid usai kukhatamkan Anwar Tohari. 


Pasca menamatkan Ulid, dorongan untuk membacai tulisan Mahfud Ikhwan semakin membuncah. Ada keinginan untuk mengorek proses kreatif kepenulisannya. Dari situ aku ingin membaca esai Cerita, Bualan, Kebenaran. Di luar rencana, ketika sudah kupegang buku itu dan membaca beberapa bagian pembukaan (di Togamas Saudara bisa membaca terlebih dulu buku yang ingin dibeli) kutemukan pengakuan Mahfud bahwa karier menulisnya juga terpengaruh Lapar milik Hamsun. Seketika, kuambil buku itu dari rak novel paling bawahdan membawanya ke kasir. Sekian. 


Sebagai buku terjemahan, membaca Lapar lumayan terasa hambar. Ada kesulitan-kesulitan yang kurasakan terutama ketidakpaduan kata-kata dalam sepotong kalimat. Tapi toh itu tak menyurutkan niat yang sudah kubangun demi menghatamkan buku ini. 


Hamsun mengisahkan Aku: lelaki yang berpangku pangan dari tulisan yang dimuat surat kabar di Kristiana-sekarang Oslo, Norwegia. Panggilan hidup sebagai penulis mengantarkan Aku pada satu kesengsaraan menuju kesengsaraan lain. Keteguhan prinsip yang Aku pegang melahirkan kebebasan jiwa. Badan pesakitan sebab kurang makan adalah bahan bakar untuk menulis. Keteguhan itu tumbuh mengakar dari imbalan sepuluh krone tiap tulisan. Keteguhan yang belakangan mendamparkannya dari penginapan ke penginapan sesekali ke kamar tahanan yang kosong atau kandang binatang.


Kini aku makin mantap belajar. Barangkali keputusan menjadi penulis harus dibarengi dengan persiapan yang matang- wabilkhusus seputar aspek finansial. Ini juga yang pernah dikisahkan Eka dan Muhidin M. Dahlan.  Tidaklah heran jika bagi Eka "Menulis itu Luka" disambung Muhidin yang berpesan "Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan yang sunyi ini, maka yang paling kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan Sembrani

Contoh Esai LPDP Magister Geografi Lolos Seleksi Batch 1 Tahun 2024

Empat Catatan tentang Ra