Ulid Mengantarku Pulang

Sampul yang filosofis (dok)


Taruhlah dirimu pada suasana kota dengan deru jalanan tak terbantahkan. Bunyi mesin, kepul hitam asap knalpot, sontakan klakson, deret toko, tukang parkir yang meresahkan, orang asing, kepenatan, dan kepenatan. Kesatuan dari semua itu harus kuhadapi setiap hari. Ditambah lagi hilir mudik orang asing yang datang-berkenalan-mendaku sebagai teman-bertahan sebentar-lalu pergi atau hilang atau pulang. Persinggungan dengan mereka-mereka itu lantas dengan cepat menyisakan cerita pendek saja. Sialnya, yang terjadi padaku, cerita-cerita itu lebih sering berujung buruk. Atau justru sama sekali tak mengandung satupun unsur kebaikan. Tak cuma sekali kena tipu orang dekat, upah kerjaan lebih sering turun telat, dan banyak lagi obrolan sambat. Ketika itulah yang kuinginkan hanya pulang. Kembali pada rumah yang terus memperlakukanku seperti 7 atau 10 tahun lalu. 

Sayang, andaikata pulang seenteng saat mengatakannya, barang tentu sudah rutin kulakukan. Apalagi jika bukan tanggungan kerja yang memaksa diri menahan keinginan semacam itu. Untungnya, Mahfud Ikhwan menghadirkan novel ini. Harus kuakui, Ulid telah mengantarku pulang. Pulang pada satu-persatu keping ingatan masa kecil. 

Ulid nyaris seperti aku di waktu itu. Lerok tak ubahnya Putat Lorku. Bukit Watuduwur setara Gunung Plumpung. Jubung-jugung pembakar gamping hanya beda tipis dengan jubung-jubung botoan (pembakar batu-bata).  Keintiman yang Ulid rasakan terhadap bengkuang kurang lebih pernah kurasakan pula dengan tebu. Ladang, garapan lahan, perawatan, sampai euforia panennya-sebutan di kampung kami adalah tebangan. Dua kambing Ulid adalah empat ayam jagoku yang sama-sama dijual ibuk karena sudah tak pegang uang. Juga, Ulid adalah aku yang secara personal-psikologikal: lebih unggul secara konigtif di antara teman sepermainan, yang pernah terbenani dengan adanya adik lelaki, yang ngedumel sebab dipaksa keliling rumah tetangga menarik arisan, yang nonton TV di rumah tetangga, yang menyulap jerambah masjid menjadi medan permainan, yang punya porsi bandel sewajarnya, yang mulai nyantri saat SMA, dan yang ditinggal bapaknya pergi merantau. Hanya saja, bapakku tak sejauh Tarmidi: Malaysia. 

Bagaimanapun juga aku harus mengaku bahwa Mahfud Ikhwan sukses besar menciptakan dimensi Ulid dalam benak pembaca-setidaknya diriku sendiri. Realita yang ia angkat benar-benar lekat dengan dinamika masyarakat desa. Tak hanya melulu seputar perantau beserta kepiluan seorang migran gelap, tapi juga tentang bagian lain seperti dua sisi pembangunan wilayah, kemerosotan nilai sosial, pendidikan kelas proletar, dan tentu saja seputar kepolosan kisah cinta pertama sepasang remaja produk desa. 

Kembali mengunjungi masa kecil sedikit-banyak akan menghiburmu. Percayalah! bahkan safari dari butir memori satu pada butir yang lain bisa saja membuat kegundahan psikismu sedikit tenang. Maka, Ohooiii para produk kampung halaman yang kini tengah terlunta-lunta di kota orang...Tak ada salahnya kalian baca Ulid! xixi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan Sembrani

Contoh Esai LPDP Magister Geografi Lolos Seleksi Batch 1 Tahun 2024

Empat Catatan tentang Ra