Kita Tertinggal Dua Generasi Tapi Jangan Sertamerta Ingin Mengejar
Kurang lebih tiga pekan lalu saya menemui seorang Kepala Bagian Penangan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang. Jauh hari sebelumnya, saya sudah bersiap dengan barbagai kemungkinan buruk yang kerap terjadi. Mengagendakan pertemuan dengan birokrat adalah urusan rumit. Selain karena mereka duduk sebagai pejabat publik yang lekat dengan agenda insidental, kita juga perlu sadar tentang siapa kita ini yang tak lebih dari orang awam
Satu lagi yang perlu diingat, jika menemui seorang pejabat pria pada rentang usia berapapun jangan sampai lupa mengajak serta teman perempuan. Ini adalah koentji! Tak perlu lagi saya jelaskan alasannya. Bukankah sudah maklum?
Mendapati Bapak Narasumber sebagai perokok membuat saya rileks. Hampir semua perokok memiliki kecenderungan untuk bersikap santai dan adaptable. Itu hasil pengamatan saya sejauh ini. Berbekal naskah pedoman wawancara, kamipun mulai mengulik dunia persampahan di sungai.
Barang tentu saya tak akan membocorkan hasil perbincangan kami di sini. Pertama karena terlalu panjang dan sarat data sehingga saya khawatir bahasan ini akan bercabang ke manapun. Kedua karena saya cuma ingin berbagi tentang ketertinggalan kita atas penyelesaian masalah sampah yang sebenarnya bisa di backup dengan kearifan lokal ajaran para tetua.
Saya dibawa larut oleh Bapak Narasumber kita pada optimisme pemerintah yang berencana mewujudkan Indonesia bebas sampah dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan. Kementerian LHK telah menyusun program strategis yang dibebankan pada Dinas LHK pada tiap satuan wilayah daerah dan kota/kabupaten. Sayangnya, hingga tahun ini target yang dibebankan belum seutuhnya terpenuhi. Upaya pengangkutan sampah dari sumbernya masih terkendala biaya operasional. Tiap tahun anggaran untuk pengangkutan masih saja defisit. Maka mau tak mau harus ada cover pendanaan atas kendala ini. Dari mana sumbernya? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang. APBD!
Jika diurai, masalah ini disebabkan umur armada angkutan sampah yang dapat dikatakan sudah butut. Alhasil, performanya sudah tidak bisa diandalkan lagi. Angka efektifitas dan efisiensi operasionalnya terus menyusut. Lantas Bapak Narasumber kita mulai membandingkan dengan kondisi pengolahan sampah di Aussie dan Singapore. Betapa sampah di sana terkelola dengan elegan dan berbasis sains teknologi. Serta setiap Good will disupport Political will. Sangat kontras dengan di Indo.
Beliau lantas mencomot Surabaya sebagai contoh. Walikota Surabaya, Bu Risma telah berkolaborasi dengan ITS dan berhasil mengembangkan Insenerator sampah. Alat pengkonversi sampah menjadi briket yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif batu bara. Bayangkan jika alat itu bisa diproduksi masal!. Bayangkan berapa volume sampah yang bisa dikurangi!. Bayangkan pula jika keduanya terwujud berapa tambang batu bara yang terancam pailit. Sementara kita semua tahu berkat Film Sexy Killer siapa saja pemilik tambang batu bara di negeri oligarki ini.
Tentu beberapa kalimat bayangkan barusan itu tidak keluar dari Narasumber kita. Saya cuma ingin menciptakan narasi provokatif ciamik untuk menarik atensi para pembaca yang budiman.
Menukil seloroh Om Eka Kurniawan bahwa apapun masalahnya, solusinya adalah teori post-kolonialisme, hal yang sama juga berlaku pada tata kelola sampah. Beberapa negara yang berhasil mengendalikan produksi sampah didominasi negara maju di belahan utara. Ini tak lepas dari riwayat revolusi industri. Mereka adalah bangsa yang memerlukan efektifitas kerja untuk bertahan dari keterbatasan sumber daya sehingga melahirkan awal mula petaka revolusi industri. Sementara bangsa kita tidak demikian. Maka ketika fase perkembangan industri di sana telah mencapai tahap matang atau dewasa, fase industri kita baru menginjak pubertas.
Waktu itu saya belum ngeh kenapa Bapak Narasumber kita meloncat ke bahasan revolusi industri. Barulah belakangan ini saya mengerti bahwa kemampuan produksi barang super banyak via tangan industrialisasi memaksa penggunaan bahan yang mudah didapat, murah diproduksi, berdaya tahan cukup tangkas. Itulah polimer plastik.
Kembali lagi pada topik perbedaan perkembangan industri. Sebagaimana manusia, kondisi psikologi industri yang sedang pubertas adalah mengklimakskan kenakalan. Watak bawaan pada tingkatan ini adalah mengesampingkan keberlanjutan lingkungan. Pelaku industri cenderung menggenjot produksi sama halnya yang pernah dilakukan oleh beberapa negara yang kini telah mendapat hidayah menuju jalan pembangunan berkelanjutan. Alhasil, saat kita masih keukeuh mengatasi krisis sampah dengan cara konvensional, beberapa negara yang lebih dewasa dari kita telah menciptakan banyak terobosan inovasi teknologi untuk tata kelola sampah. Atas dasar inilah, Bapak Narasumber kita nyeletuk bahwa kita harus mengakui sesungguhnya kita tertinggal dua generasi. Tapi jangan sertamerta ingin mengejar. Secepat apapun akselerasi, kita akan tetap tertinggal. Modal kita yang tidak mereka miliki adalah kearifan lokal.
Bahwa ketika dunia utara bergelut dengan revolusi pengetahuan, bangsa kita telah menanam benih keberadaban. Bahwa ketika dunia utara bersikeras membangun industri sekalian penjajahan, bangsa kita telah merawat kearifan lokal. Tahu kau kenapa para bule itu gemar minum arak sehabis makan malam? karena wine akan membakar kalori daging yang mereka santap sebelumnya. Asupan gizi mereka akan tetap aman, tak sampai over. Tahu kau kenapa orang kita gemar berlagak teler? karena kita tertinggal peradaban. Bahkan sejak urusan makan!. Mana ada orang kita yang berpikir tentang gizi dan metabolisme saat makan. Lawong bisa makan saja sudah sukur.
Seigatnya saya, begitulah Bapak Narasumber kita membaut bibir kami, membuat speechless. Beliau lantas meminjam korek ke teman kantornya. Sebatang Pro Mild Putih menyala.
Saya sering diejek begitu sama kawan saya yang bule. Lanjut Bapak Narasumber kita. Tapi saya punya counter yang jauh lebih menohok buat mereka.
Asal kalian tahu, kata Bapak Narasumber kita kepada kawan bulenya, sejak kami belum jadi manusia orang tua kami sudah mengkalkulasi kebutuhan hidup kami. Tidak cuma perhitungan kalori!.
Kemudian Bapak Narasumber kita menguraikan betapa agungnya kebudayaan jawa yang menyimpan makna filosofis disetiap ritual adat bahkan sampai urusan makanan. Lantas beliau mengisahkan beberapa filosofi makanan seperti latar belakang tumpeng yang punya bentuk gunungan, atau filosofi kulup trancam wah ini kayaknya bagus buat judul novel , atau makna jenang (bubur) lima warna perlambang dulur papat limo pancer. Pada titik ini saya dibuat geleng kepala sama pengalaman hidup Bapak Narasumber kita ini.
Sebelumnya saya minta maaf jika tulisan ini serasa tak jelas jluntrungannya seperti kisah asmara pembaca , namun demikianlah yang saya dapat dari Bapak Narasumber kita. Tentu beberapa bagian yang sudah pembaca simak adalah hasil kreasi saya. Berhubung sebatang rokok Bapak Narasumber kita sudah terhisap sempurna, maka beliau mengaitkan seputar gap generasi (peradaban) tadi dan kearifan lokal perihal mengatasi sampah utamanya di aliran sungai.
Jauh di Pulau Flores sana, masyarakat adat sungguh menyucikan sungai. Sebab sungai adalah nafas kehidupan bagi mereka saat kemarau melanda. Saya berani memastikan bahwa tak akan ada masyarakat adat yang mengotori sungai di Flores. Saya berani langsung minum air sungai. Bahkan seringkali ketika sedang dinas di sana, saya mendadak jadi berang-berang. Membendung air dengan bebatuan agar berbentuk kolam lalu saya berkubang di dalamnya. Betapa kenikmatan yang seperti itu mustahil saya rasakan pada sungai di Jawa.
Demikianlah ujar Bapak Narasumber kita.
Usai wawancara yang berbobot itu, kami undur diri dari kantor dinas Bapak Narasumber kita. Sambil melangkah menuju tempat parkir motor dalam diam saya membatin, tak apalah agak ribet mengurus janji pertemuan. Itu impas. Sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Sayangnya, sampai sekarangpun saya masih belum menemukan tambatan hati nama kearifan lokal itu.
Saya pikir, reproduksi kearaifan lokal sungguh genting dikerjakan. Nilai kebijaksanaan para tetua kita dalam melestarikan lingkungan seyogyanya disebarluaskan secara massif tanpa memandang sekat regional rural-urban. Sayangnya, stigma bahwa kearifan lokal hanya bisa bertahan di pedesaan masih lekat dalam kultur masyarakat kita. Padahal, bukan rahasia lagi bahwa penyumbang sampah di sungai didominasi oleh rumah tangga perkotaan (urban). Sedangkan nilai kearifan lokal cenderung mengalami reduksi begitu masuk kawasan urban. Heterogenitas penduduk kota yang kompleks adalah faktor utamanya.
Lantas siapakah yang berkewajiban mereproduksi ulang kearifan lokal? tolong jawab pada kolom komentar tidak lain adalah penduduk urban itu sendiri. Sesungguhnya ada peluang. Watak kaum urban cenderung memiliki solidaritas nasib akibat kegagalan hidup ideal dan ini adalah modal awal untuk melakukan pendekatan kelingkungan terhadap mereka. Gagasan yang lahir dari inisiatif mandiri seorang individu cenderung berpeluang diamini oleh komunitas bila mereka dalam kondisi senasib sepenanggunan. Demikianlah sehingga reproduksi nilai kearifan lokal dapat digalakkan.
Menurut saya sih gitu. xixi
Komentar
Posting Komentar