Cerita Bambang


 (Sumber: Faceebook Albar Malang)

Satu tahun lalu, seorang teman kuliah menitipkan kenari miliknya pada saya. Itu karena disaat bersamaan ia sibuk merawat labet (lovebird)-yang kala itu harganya tengah naik daun. Agenda kontes kicau labet yang padat membuat ia tak sadar jika ada seekor kenari yang boleh jadi sedang cemburu akibat tak pernah ia sentuh. Kebetulan pula, waktu itu saya sedang mencari burung kicau untuk menemani  seekor murai balak milik guru saya yang lebih dulu saya rawat. Jadilah seekor kenari itu saya pinjam.

Saya masih ingat betapa menyedihkan kondisi kenari itu. Beberapa lidi sangkarnya "njepat". Sekelompok semut diam-diam membuat sarang di pojok bawah sangkar-tepat di zona akumulasi kotoran. Ditambah lagi pada dasar wadah minumnya mulai berlumut tipis. Pelan-pelan kondisi itu saya perbaiki. Lidi yang keluar jalur saya lem.Wadah minum saya bersihkan. Sementara untuk mengatasi semut, saya oleskan oli di rangka-rangka sangkar. Meski tak ada perubahan signifikan, saya rasa itu akan membuat Si Kenari lebih nyaman tinggal di rumahnya.

Kira-kira begitulah awal perkenalan saya dengan dunia kenari. Sejak saat itu, setiap pagi saya merawat dua burung. Pertama adalah Ibnu. Si Murai Balak kepunyaan guru saya. Kedua adalah Bambang. Si Kenari milik teman saya. 

Bambang bukan berasal dari jenis unggulan atau warna cantik. Ia cuma kenari lokal dengan postur kecil seukuran pipit sawah atau burung gereja. Warna bulu Bambang dominan ijo dengan selipan kuning sunkis. Jelas bukan warna favorit. Bila ditaksir dengan harga pasar, mungkin nilai Bambang tak lebih dari 120.000 - 140.000. Sayangnya, saat saya putuskan mengadopsi Bambang kala itu, saya sama sekali nihil wawasan tentang dunia perkenarian. Di pikiran saya waktu itu pokoknya menemukan burung kicau untuk dijadikan teman Si Ibnu. Tidak lebih.

Pada perkembangannya, Bambang dan Ibnu tumbuh tidak seperti yang saya harapkan. Kicau Bambang lebih dulu terbentuk. Padahal tujuan awal saya meminjam ia adalah untuk memancing kicau Ibnu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Semakin lama, Ibnu semakin tertinggal jauh. Padahal "masteran" yang saya perdengarkan ke mereka porsinya sama. Waktu itu saya sedikit gamang terhadap perasaan saya sendiri. Kecewa karena performa Ibnu sekaligus bangga atas perkembangan Bambang. Barulah kemudian hari saya paham perihal pengaruh umur burung terhadap kecepatan belajar menirukan masteran dan bisa memaklumi kesenjangan yang pernah terjadi antara Ibnu dan Bambang.

Beberapa bulan kemudian, saya menjalani program Kuliah Kerja Nyantai Nyata. Setelah berbagai pertimbangan- yang sebenarnya tidak benar-benar penting untuk dipertimbangkan, saya putuskan untuk memercayakan perawatan Ibnu ke teman pondok saya. Tentu sebelum saya tinggal KKN, lebih dulu saya laporan ke guru saya perihal perpindahan tanggungjawab atas Si Ibnu. Sementara itu, Bambang saya angkut ke Posko KKN. Setidaknya bisa untuk hiburan plus "rungon-rungon" sebab waktu itu Bambang sudah mulai "ngeloper" meskipun durasinya masih pendek dan putus-putus. 


Satu bulan setengah merawat Bambang, membuat saya lebih dekat dengan dimensi perburungan. Diam-diam saya merasa punya keterikatan dengan dia. Misal, ketika bangun kesiangan sontak saya "gendadapan". Langkah saya otomatis menuju ke sudut ruangan di sebelah kamar mandi posko KKN, tempat sangkar Bambang digantung. Mulanya, dengan mata masih "kemriyip" dan nyawa belum terkumpul terpaksa saya turunkan sangkar Bambang, melepas kerodongnya, lalu menggantungkan ke teras posko agar ia terpapar sinar mentari. Tapi kemudian, beberapa teman KKN saya sepertinya sudah mengerti perihal bagaimana tata cara menyikapi Bambang pada pagi hari. Alhasil, saya lebih rileks saat bangun kesiangan. Toh teman KKN saya sudah membawa dia ke teras. 

Tidak cuma itu, berkat kealpaan sosok Ibnu, mau tak mau yang bisa saya "kudang" ya Bambang seorang. Seringkali ketika tak ada kerjaan di posko, saya putar masteran kenari loper di HP saya buat memancing kicau Bambang. Begitu dia angkat suara, masteran di HP cepat-cepat saya pause. Saya sengaja melakukan ini sebab beberapa kali saya temukan Bambang terlihat bingung seperti mencari sumber suara yang tetiba senyap. Entah karena apa saya juga tak mengerti yang jelas saya suka mendapati ekspresi bingung Bambang. Kadang ia "tingak-tinguk" ke sayap kanan-kirinya. Seperti seorang bocah yang mencari pelaku yang mengusilgelitiki pinggangnya. Kadang ia cuma loncat-loncat tak jelas. Entahlah, mungkin euforia seperti ini hanya bisa dirasakan kaum tertentu saja yang kesepian.

Tapi kemudian, euforia itu menjadi fragmen kejadian yang saya kenang dalam-dalam. Beberapa bulan sepulang saya dari KKN, Bambang laku terjual dengan harga 300.000. Nilai yang cukup baik untuk ukuran kenari lokal seperti dia. Pembelinya kebetulan dari kalangan pecinta burung kicau juga. Teman saya (Si Empunya Bambang) diam-diam merekam durasi kicau Bambang dan mengunggahnya di laman Komunitas Pecinta  Kenari di Facebook. Mau dikata apa lagi, toh saya ikut kecipratan Surya 12 satu "tepak".  

Terlepas dari itu, Bambang membuat saya berkeinginan menjadi seperti dia. Semoga, pada benak seseorang siapapun itu saya berhasil meletakkan euforia yang akan dikenang dalam-dalam. 

 

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan Sembrani

Contoh Esai LPDP Magister Geografi Lolos Seleksi Batch 1 Tahun 2024

Empat Catatan tentang Ra